Beritaistana.com
Sumenep, MADURA | – Di sebuah sudut tenang di Sumenep, Madura, ketenangan seorang guru bernama Fendi mendadak terusik.
Bukan karena gempa atau badai, melainkan oleh dering-dering telepon yang datang tanpa henti—membawa satu permintaan yang sama: “Bisa pinjam uang, Pak?”
Baru saja ia duduk sebagai Ketua Koperasi Merah Putih, belum sempat merancang langkah pertama, ponselnya sudah nyaris tak berhenti berdering.
Satu demi satu, nomor tak dikenal masuk. Sebagian dengan nada sopan, sebagian lagi langsung to the point—bahkan ada yang meminta pinjaman hingga Rp100 juta.
“Saya sampai bingung. Baru duduk sebagai ketua, sudah ada yang minta pinjam seratus juta.
Padahal belum ada uangnya,” ucap Fendi, diselingi tawa kecil yang terdengar lebih getir ketimbang lucu, Kamis (24/7/2025).
Kebingungan Fendi tak datang tanpa sebab. Ia menduga semua bermula dari informasi simpang siur di media sosial, khususnya TikTok, yang menyebut koperasi Merah Putih sudah diguyur dana bantuan Rp3 miliar. Padahal kenyataannya, Fendi dan rekan-rekannya baru mengelola simpanan pokok dan wajib dari anggota. Jumlahnya? Jauh dari miliaran.
“Banyak yang kira koperasi langsung pegang uang miliaran. Padahal kenyataannya kami masih ngumpulin simpanan,” jelasnya, seakan ingin membangunkan publik dari mimpi yang terlalu dini.
Fendi bukan pengusaha besar, bukan pula politisi kawakan. Ia seorang guru yang dipilih warga dalam musyawarah desa khusus. Semangatnya sederhana: membangun ekonomi bersama. Namun, begitu disumpah sebagai ketua, ia justru dihadapkan pada ekspektasi yang terlalu tinggi dan realita yang tak seindah cerita.
Modal belum ada. Unit usaha pun masih dalam bayangan. Jika harus meminjam dana besar, Fendi khawatir akan membawa koperasi pada jurang kegagalan.
“Belum ada arahan langsung dari Pemkab Sumenep, apa yang harus dilakukan kami,” katanya, seperti mencari sandaran di tengah laut yang belum jelas ujungnya.
Harapan Fendi sederhana—bimbingan. Bukan hanya seremonial, tapi pelatihan yang bisa jadi kompas, agar koperasi tak berjalan tanpa arah. Ia ingin koperasi benar-benar hidup, bukan sekadar nama.
“Kalau pelatihan ya butuh, Mas. Minimal dikasih tahu langkah-langkahnya biar enggak salah jalan,” ucapnya.
Fendi tak sendiri. Di Desa Kebun Dadap Timur, Kecamatan Saronggi, Fadil Aufa mengalami tekanan serupa. Sebagai Ketua Koperasi Merah Putih di desanya, Fadil sering dihujani pertanyaan dari warga:
“Kapan bisa minjam?”
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi baginya, membebani. Bersama pengurus lainnya, Fadil memilih memperkuat fondasi koperasi lebih dulu—keanggotaan, program kerja, dan arah usaha.
Ia tak ingin koperasi jadi sumber konflik, apalagi jika unit usaha yang dikembangkan tumpang tindih dengan milik warga. Ia ingin koperasi tumbuh dari desa, untuk desa, tanpa menimbulkan luka.(Hbr)
Post Views: 3.766